Buku
Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia
Hubungan Ahmadiyah dengan Pemerintah
Jema’at Ahmadiyah Indonesia berdiri sejak tahun 1925 dan diakui Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kehakiman Republik Indonesia sebagai badan hukum pada 1953. Hal itu tercantum dalam ketetapan menteri tertanggal 13 Maret 1953, nomor JA.5/23/13 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 22 tanggal 31 Maret 1953. Ketetapan ini kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara Nomor 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara Nomor 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan itu diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama RI ter-tangga111 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia yang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya telah disahkan secara resmi oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hukum. Sedangkan Ahmadiyah aliran Lahore, sebagaimana telah dikemukakan di depan, sejak 1929 telah berbadan hukum.
Meski demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta (26 Mei1 Juni 1980) telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah jema’at di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Sampai sekarang, Ahmadiyah aliran Qadian masih belum diakui eksistensinya oleh MUI. Sikap MUI tersebut, menurut pandangan Jema’at Ahmadiyah Indonesia, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundangan yang lain dan juga dengan pidato dan pengarahan dari Presiden RI, Menteri Agama RI, dan para pejabat pemerintahan.
Buku Gerakan Ahmadiyah di IndonesiaAlasan pelarangan itu dipandang bertentangan dengan Pan-casila, terutama sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esaâ€. Menurut Ahmadiyah, sila ini pada prinsipnya me-nekankan bahwa seseorang atau badan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa terjamin kelangsungan hidupnya di negara Republik Indonesia. Pancasila tidak menentukan apakah Ketuhanan yang Maha Esa itu di dalam atau di luar Islam, di dalam atau di luar Kristen, di dalam atau di luar Budha. Semua itu tercakup dalam rangkuman sila pertama Pancasila.
Sementara itu, larangan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena di dalam pasal 29 ayat 1 ditegaskan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa†dan dalam ayat 2 juga ditegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk me-meluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya ituâ€. Ahmadiyah juga mendasarkan pendapatnya itu pada penjelasan pasal 29 ayat 2 bahwa kebebasan beragama merupakan hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia lainnya.
Pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), situasi menjadi berubah. Suatu hal yang dinilai positif dalam pemerintahan Gus Dur adalah komitmennya terhadap hak seseorang untuk beragama. Ia memberi peluang secara terbuka kepada aliran-aliran keagamaan yamg sebelumnya dinyatakan terlarang. Djohan Efendi, Sekretaris Negara era pemerintahan Gus Dur dan man- tan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama RI, menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid adalah seorang pluralis sehingga ia memberikan iklim yang lebih terbuka dan demokratis. Selain itu, Djohan juga berpendapat bahwa bentuk pemahaman seseorang terhadap agama ataupun yang lainnya tidak dapat dilarang pemerintah.8 Meski demikian, menurut KH. Irfan Zidny—Ketua Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta yang juga menjabat sebagai pengurus Lembaga Kajian dan Konsultasi Syari’ah Islam MUI — masih tetap mengharapkan agar umat Islam Indonesia mewaspadai aliran int Ia juga mengatakan, “Dalam soal-soal yang berhubungan dengan urusan duniawi, kita bisa saja bekerja sama dengan organisasi mereka. Toh itu sangat baik dilakukan, bahkan dengan siapa pun. Namun, dalam soal teologis kita tetap mengatakan Ahmadiyah Qadian itu menyalahi ajaran Islam�
Sementara Dawam Rahardjo, direktur International Forum on Islamic Studies (IFIS) dan salah seorang ketua Muhammadiyah, justru berpendapat bahwa Ahmadiyah merupakan contoh organisasi keagamaan yang baik. Organisasi itu ditata secara baik dan mandiri. Mereka menjaga diri dan hiruk pikuk kehidupan politik, tetapi bukan tidak peka terhadap politik. Lebih lanjut ia menyatakan, “Kita mestinya bisa bekerja sama dengan organisasi ini dan memiliki apresiasi yang besar terhadapnya.
Tidak tersedia versi lain